Mencari atau Membangun Rumah?




Kalo bukan karena Allah, tak mungkin saya bisa kembali ke rumah dengan se-begitu spontannya. Tanpa rencana. Jumat tetiba pak bos minta saya untuk berangkat memberikan semacam presentasi brainstorming pada project yang sedang on going. Senang bercampur kesal sebenarnya. Di satu sisi saya harus siapkan bahan presentasi  di luar jam kantor, aktivitas yang kurang saya sukai karena menurut saya kurang adil. Mengapa? Saya ingin terbiasa disiplin. Waktunya libur ya harusnya digunakan untuk aktivitas di luar kantor. Tapi di sisi lain saya bisa –sekadar- mampir ke rumah, menyaksikan dua orang yang tak terhitungan jasanya buat saya, orangtua. Karena tak terencana dengan matang, perjalanan kali ini sungguh menyita banyak pikiran. Ada beberapa task yang belum dirampungkan, termasuk menyiapkan lanjutan project dengan MDA yang pertengahan november nanti Mike dan Jo Man bakal datang ke kantor menagih feed back dari saya, pula dengan undangan dari representasi pemerintah BC yang harus saya ganti dengan rendezvous di hari lain karena mereka tetap minta bertemu. Ada pula project lain yang mangkrak sejak bulan juli karena kesalahpahaman data sehingga menuntut saya untuk segera merampungkannya agar riset tetap dilanjutkan dan akurasi bisa ditingkatkan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam trip singkat kali ini saya berulangkali membaca tulisan alldo yang bercerita tentang perjalanannya mencari rumah (home) – sebuah tempat yang baginya laik dan nyaman untuk ditinggali. Seorang kawan menyebut rumah bisa ditemukan saat ada kesamaan kepentingan dan tujuan. Ini benar, tapi tidak penuh. Mengapa? Untuk menemukan rumah, apakah kita diharuskan punya kepentingan dan tujuan yang sama dulu? Bukankah ini terlalu transaksional?

Dengan latar belakang, pengalaman, lingkungan, dan tempaan hidup (baca: gelombang) yang berbeda orang akan menemukan watak manusia yang bermacam ragam. Keragaman itu kadang menyebabkan frekuensi – sebuah persamaan gelombang – tak bisa diselaraskan sehingga orang akan merasa sedang tidak berada di rumah, ia merasa terasing. Ada semacam benteng imaginer, sebuah benda yang muncul dalam lintasan pikiran  yang menyebabkan kita menjustifikasi sebuah kondisi menjadi tak nyaman. Benteng imaginer ini yang membuat seseorang tak bisa leluasa menyampaikan ide, gagasan, temuan, atau bahkan curhat ke orang lain pada lingkungan yang asing. Lalu bagaimana seseorang bisa menikmati rumah? Untuk menikmati rumah, kuncinya ternyata bukan pada kata kerja “mencari” tapi “membangun” karena dimana pun kita mencari rumah, tetap ada orang-orang yang merasa terasing tersebab mereka hanya sibuk mencari. Rumah akan laik ditinggali saat gelombang berinterferensi positif sehingga menciptakan frekuensi yang sama. Ini artinya kita harus menyamakan frekuensi atau membuat prekondisi sosial agar mereka mau menyamakan frekuensi dengan kita.  Pertanyaan selanjutnya berapa lama saya harus membangun rumah yang laik dan nyaman ditinggali? Atau haruskah saya kembali mencari rumah? Bagaimana dengan kamu?

Comments