Indonesia Biru



Semburat padi di daerah Brongkos, sekitar 30 menit dari Adi Soemarmo Airport, Solo


Saya suka dengan orang yang berpikiran radikal. Walau tidak semua yang radikal itu baik sifatnya. Berpikir radikal memungkinkan seseorang berkesempatan untuk mengubah cara pandang realitas masyarakat yang disifati ajeg. Ada norma yang menjadi aksioma berpikir bagi tipe orang yang seperti ini. Agak berbeda dengan para penganut libertian yang mengedepankan pada kebebasan logika tanpa didasari landasan norma, padahal logika tanpa norma hanya akan menjadikan hidup manusia seperti robot pintar.

Mas Dandhy Laksono, seorang jurnalis investigasi bersama rekannya mas Suparta Arz, per 1 Januari 2015 lalu telah melakukan tindakan radikal, sebuah perjalanan yang dinamai “Ekspedisi Indonesia Biru” dilakoni selama setahun penuh dengan menggunakan sepeda motor untuk merekam dan menuliskan konsep Indonesia Biru yang terinspirasi blue economy-nya Gunter Pauli. Sebenarnya ide blue economy ini bukan barang baru. Mungkin Gunter Pauli ialah orang yang membuat dunia kembali sadar bahwa potensi alam  bisa dimanfaatkan untuk memproduksi barang bernilai ekonomi dengan mempraktikkan prinsip-prinsip ekologi, tanpa merusaknya. Namun sejatinya konsep blue economy telah berjalan ratusan tahun, dipraktikkan oleh banyak komunitas-komunitas di tanah air yang mungkin dianggap oleh kebanyakan orang modern kurang menguntungkan. Tapi percayalah, ulasan mas dandhy tentang blue economy akan membuat pandangan kamu berubah atau setidaknya membuat alternatif baru bagaimana kita memahami indonesia seutuhnya.
Saya tertarik menyinggung karya mas dandhy di edisi ekspedisi indonesia biru bukan tanpa alasan. Bagi orang seperti saya yang berlatar pure sains, karya mas dandhy seperti “made in siberut”, “boti”, The Mahuzes, Kasepuhan Cipta Gelar, Lewa di Lembata, Baduy, Samin Vs Semen, dan Asimetris seperti menyadarkan saya bahwa sejatinya kita ini sedang berada di persimpangan jalan. Kita, individu-individu yang hidup di komunitas urban ialah orang-orang yang secara sadar atau tidak sadar di set up untuk selalu jadi konsumen dan berpola pikir konsumen. Hampir semua yang melekat pada diri kita, mulai sandang, pangan, papan,  ialah produk yang kita beli. Dan hampir dipastikan pula, produk-produk tersebut bersumber dari perusahaan-perusahaan/pemilik modal yang besar. Kalau sudah dikuasai pemilik modal besar, ini artinya distribusi kekayaan hanya akan terkonsentrasi pada 2  - 3 persen orang terkaya di negeri ini dan tentu saja ada harga yang harus dibayar sangat mahal. Apa yang terjadi jika sejatinya  2 – 3 persen pemilik modal ini bangkrut? Saya yang hanya rakyat kecil ini pasti akan kena imbasnya. Inflasi bisa naik 1000% atau bahkan keadaan jadi chaos seperti kasus 1998 tempo doloe.

Saya tak mengatakan bahwa kapitalis itu jelek atau segala macamnya, tapi satu fakta yang pasti kapitalis telah membuat sendi-sendi hidup kita terkungkung pada dunia kebahagiaan yang bersifat materi. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (saya belum baca bukunya sampai tamat) sempat menyanjung-nyanjungkan bahwa kapitalisme ialah hasil akhir dari pertarungan ekonomi proletar-borjuis. Ia mungkin benar, hampir seluruh seluruh negara telah dikuasai oleh kapitalis, termasuk negeri kita. Jika masih hidup, Karl Max mungkin tak bisa membayangkan bahwa hari ini idenya telah gagal total mengubah peta ekonomi politik. Tapi sungguh, selagi komunitas-komunitas sosial itu ada, selagi masyarakat berserikat, membuat ide-ide ekonomi mikro yang mandiri, disitulah  bara perlawanan atas kapitalisme akan abadi.

Kita kembali ke karya mas dandhy, nah melalui karya dokumenternya seperti Made in Siberut, Ciptagelar, Baduy, dan Boti setidaknya memberikan gambaran pada saya bahwa negeri kita ini punya local wisdom yang unik dan mandiri. Ciptagelar yang memproduksi beras lokal yang dalam sekali panen bisa menghidupi keluarga selama 7 tahun ialah contoh bahwa sejatinya kalo kita benar-benar mau menerapkan strategi food security yang jitu sebenarnya bisa-bisa aja. Konsep ciptagelar yang tak membolehkan menjual beras karena dianggap sama seperti menjual kehidupan telah menjadi norma di padepokan ini. Hasilnya, warga  ciptagelar selama ratusan tahun tak pernah dibuat kehabisan beras, padahal mereka hanya menanam padi dalam sekali setahun saja. Tak cukup disitu, baduy, made in siberut, atau lawa di lembata juga mengajarkan untuk kembali meredefinisi hakikat hidup. Ambil saja seperlunya dari alam dan sisakan untuk anak -  keturunan. Sebenarnya keperluan hidup kita ini tak banyak, asal sandang, pangan, papan, kebebasan berpikir dan berkreativitas tak diganggu itu sudah cukup. Tapi masalahnya kadang-kadang manusia seringkali meminta banyak hal, termasuk yang tak ia butuhkan. Bisa saja ia hidup dengan dua hektar sawah, tapi kapitalisasi telah mengubah semuanya. Ia tetap akan merasa apa saja yang ia inginkan ialah sebuah kebutuhan. Hasilnya bisa ditebak, ia takkan pernah puas dan jadilah ia manusia-manusia tamak. Ini bukan berarti saya kemudian mencap bahwa pengusaha ialah profesi yang tamak? Tidak sama sekali. Bukan itu yang saya maksud. Pengusaha yang benar-benar haqqul yakin dengan rizkinya itu untuk membantu orang lain, Inshaa Allah akan mendatangkan berkah tak terkira. 

Dan akhirnya saya harus bilang menonton made in siberut, asimetris, samin vs semen, dan karya mas dandhy lainnya bisa membuat kita tetap waras, tak terjebak dalam pusaran kerawanan modal kapital yang menggiurkan itu dan meyakini dimana pun kita menghembuskan nafas, sebuah perjalanan "hidup" yang banyak godaannya ini butuh penyikapan yang matang dan bijak, agar hidup menjadi lebih qonaah dan adem tentrem. Barangkali rush dalam aktivitas tak bisa dihindari, tapi hati yang lapang, yang jernih - putih adalah kondisi yang membuat kita merasakan manisnya fase perjalanan menuju Allah, entah itu dalam bentuk kesenangan atau kepayahan. 
.
.

Tabik mas dandhy...

Comments