Thought of


“And marry the unmarried among you and the righteous among your male slaves and female slaves. If they should be poor, Allah will enrich them from His bounty, and Allah is all-Encompassing and Knowing” (An-Nur 32)

Kadang alam pikiran itu benar-benar random. Entah dari mana datangnya, tetiba saya teringat buku pelajaran sejarah kelas X terbitan yudhistira. Di bab-bab awal buku itu menjelaskan peristiwa disebut bersejarah karena dua hal: unik (einmaleg) dan besar pengaruhnya. Disebut unik karena peristiwa tersebut hanya terjadi sekali (literally, namun polanya sangat mungkin berepetisi) dan besar pengaruhnya karena melibatkan banyak pihak – bisa pelaku dan atau obyek sejarah. Agaknya nikah juga termasuk bagian  peristiwa sejarah. Kata orang jawa, omah-omah (baca: nikah) itu ukuran seorang lelaki  bisa disebut lenang. Lah, bukannya lenang itu lelaki? Secara harfiah mungkin iya, tapi sepertinya makna lenang lebih dekat  pada berani bertanggung jawab sepenuhnya dan berkomitmen menjalin ikatan suci. 
Salah satu epoch cinta yang melegenda karena penuh keharuan dan jalan juang ialah kisah Ali dan Fatimah. Kisah ini menarik karena dua hal. Pertama, kisah perjuangan cinta mereka yang suci dan ikhlas. Ali dan Fatimah sejatinya telah memiliki rasa yang telah lama bertunas semenjak kanak-kanak. Ini mungkin yang diartikan oleh pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino”. Namun hebatnya, keduanya bisa menjaga rasa itu tidak tumbuh (hanya bertunas) sampai akhirnya Allah meridhoinya menjadi mekar.  Ali mengamalkan perkataan kanjeng Nabi “Nothing can change the divine decree except dua (At Tirmidzi)” dan langit menjawab doanya dengan akad. Kun fayakuun. Jadi.

Kedua, kisah pernikahan mereka sarat dengan perjuangan. Fatimah ialah putri kanjeng nabi, tapi itu tak menjadikannya merasa istimewa. Di awal-awal pernikahan, Ali tak punya apa-apa. Satu-satunya hartanya yakni baju perangnya telah menjadi mahar untuk Fatimah. Roda ekonomi mereka benar-benar dibangun dari nol. Itu baru hal urusan ekonomi, belum lagi tentang urusan sikap keduanya, yang cemburu, marahan, balikan, semuanya terukur, paten memang kalo semua sudah punya ilmunya. Semua amal jadi terukur, karena sejatinya ilmu adalah soko guru amal.

Zaman berubah tantangan pun juga berubah, kalo menikah itu diartikan tentang berpadunya rasa, bersenyawanya jiwa, bertemunya cita-cita dan perwujudannya yang dibingkai ketaatan kepada Allah, saya yang harus jadi orang pertama yang mengamininya. Tapi masalahnya, sebelum itu, ada bagian dimana seseorang bener-bener harus selektif dalam memilih si belahan jiwa. Mungkin bagi orang terasa mudah, tapi rasanya ini bagian yang cukup sulit. Dus, mencari seseorang yang saban hari akan jadi teman curhat, diskusi, tukar ide, mau susah senang bersama, berbagi peran, bekerja sama untuk mencapai visi hidup sampai akhir hayat, menyelaraskan misi, dan menjaga frekuensi adalah seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kita perlu memastikan bahwa yang kita ajak mengarungi lautan ialah benar-benar orang yang tepat, bisa saling menguatkan, konsisten,  bahkan saling berkorban. Namun perlu diingat, proses ini sebenarnya juga berkorelasi dengan seberapa "baiknya" diri. Karena Allah sudah gariskan  "Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (An Nur 26).

Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak maksiatnya, pasti diragukan kejantanannya. What the heck... Tega sekali kau wahai Umar. Membaca petikan kalimatmu itu rasanya seperti ada es yang ditaruh dipundakku, nyesss. Semoga Allah jauhkan saya dari keduanya.

Dengan berbekal kesadaran pribadi, bergantungnya saya dengan gusti Allah, dan ikhtiar menjemput jodoh, saya haqqul yaqin, bismillah semoga dengan rancangan hidup  yang sudah divisualisasikan di diijabahi oleh Allah dengan dipertemukannya saya dan kamu.! Dan tentu perkara bertemu tidak hanya sekadar bertemu tapi menikah ialah muaranya.

Satu lagi, "gejala barakahnya nikah itu mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain". -Salim A. Fillah

Billahi fii sabilil haq
.
.
.
picture: ognature



Comments