Gnothi Seauton – Aforisme



Satu perkataan yang masyhur di kalangan masyarakat “Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu” (Barangsiapa mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya). Mengenali diri sendiri adalah cara paling kuno untuk memulai menuju apapun yang kita tuju. – Man, know thyself, and you are going to know the Gods.  Semua aforisme di atas punya titik tekan yang sama: Gnothi Seauton: Kenali dirimu!

Akhir-akhir ini saya menjadi lebih concern karena perkara memahami siapa diri terasa begitu penting di masa quarter life – halah, padahal udah lebih dikit juga. Mengapa? Ini tentang perkara 10 – 20 ke depan man. We need to evaluate life before finally taking off (again)! Orang bilang hidup itu biar seperti air yang mengalir saja, saya kurang sepakat. Kalau kita bisa mendaki gunung, menyelam, mendaki lagi, dan turun lagi dengan bebasnya, kenapa kita harus jadi air yang selalu mengalir dari atas ke bawah? Bukankah itu malah menjadikan kita tidak leluasa? Atau ada pula yang berkelakar hidup itu simpel seperti orang yang sedang menggoreng, angkat, lalu tiriskan. Bagi orang yang ribet kek saya, nampaknya premis itu jadi exception. Mari kita bedah kenapa?

Urip itu kudu Urup! Ini kata-kata yang  unik dan sarat makna. Makna urip yang berarti hidup disilangkan dengan urup – terang atau bersinar. Jika boleh beropini, kalimat itu ingin menyiratkan bahwa hakikat hidup bukan hanya sekadar hidup. Hamka menyebut  kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup, kerja kalau sekadar bekerja kera di hutan pun bekerja. Berkehidupan itu mengenai seberapa bermanfaatnya kita untuk orang lain seperti ajaran kanjeng nabi “khairunnas anfa'uhum linnas“. Jadi begini para sedulur, menilai urup itu butuh konsiderasi dan parameter yang terukur dan variabel yang jelas.

Hidup seperempat abad lebih sedikit membuat  saya bisa bertemu bermacam ragam orang. Ini sebenarnya soal kesadaran. Orang -  termasuk saya  sering terjebak pada content hidup. Apa itu content: harapan atau ekspektasi. Ketika saya bertanya ke seseorang apa yang membuatnya bahagia? Bisa jadi orang ini akan menjawab, bahagia karena punya istri shalihah, pinter nan penyabar –  sebenarnya ini cita-cita saya banget heuheu atau karena diberi rezeki yang melimpah ruah. Lalu orang itu akan berusaha keras untuk mengisi hidupnya agar content hidupnya menjadi kenyataan?  Namun apa jadinya jika ekspektasi itu meleset? Sedih? Pasti. Jadi sebenarnya content itu bersifat temporer. Nah, padahal jika kita mau meninggikan kesadaran kita sedikit aja , ada sesuatu yang disebut context, pemahaman yang  melekat (becoming) di dalam diri kita. Jadi sebenarnya mau hidup ini berubah sedahsyat apapun jika kita punya pemahaman/kesadaran yang melampui batasan content kita, Insyaa Allah hidup terasa lebih bermakna. Saya juga sedang belajar untuk mencapai level ini, hehe.

Contoh. Pelari marathon yang gagal untuk mejuarai satu lomba lari 35 km. Kalau dllihat content-nya, ia telah gagal menjadi juara. Tapi, jika melihat context-nya, kegagalan itu bisa dimaknai sebagai satu bentuk lecutan agar ia bisa lebih kuat merasakan sakit saat latihan, lebih bisa menahan rasa lelah di lomba berikutnya dan mencapai kemenangan. Bisa dibilang, kesadaran yang semakin tinggi akan membuat seseorang semakin pantang menyerah dan bijaksana dalam melihat suatu realitas. Jadi yuk nikmati saja seberapa seringnya kita terjungkal, jatuh, toh selama nyawa masih dikandung badan kita masih bisa bangkit!


Jadi kenali dirimu, desain hidupmu, wujudkan karyamu, jalankan misimu!


.
.
.
photo: gnothi seauton
.
.
.
bacaan: Limitless Campus




Comments