Memperluas Spektrum Syukur


Foto di Museum Tsunami, Banda Aceh

Salah satu bentuk maha kasih dan sayang Al-Khaliq kepada manusia ialah diberikannya nikmat yang tiada terkira. Manusia di muka bumi diberi mata untuk melihat keindahan penciptaan, telinga untuk mendengar sehingga memudahkan berkomunikasi satu sama lain, kesehatan yang membuat manusia bisa melakukan aktivitas dengan baik, dan nikmat-nikmat lainnya yang jika dihitung tidak akan mungkin manusia bisa menghitungnya. 

Namun pernahkah kita sesekali mempertanyakan eksistensi nikmat yang sudah tak terhitung dirasakan manusia itu sebagai sebuah kesadaran empirik yang mengantarkan alam pikiran dan perbuatan kita untuk bersyukur?

Sudahkah segala nikmat yang telah diberikan itu mengantarkan kita pada jalan ketuhanan yang membuat kita semakin merunduk ke bawah?

Pernahkah kita berkontemplasi memikirkan betapa tulusnya Allah memberikan nikmat tersebut tanpa pamrih sedikitpun?

Lalu pernahkan kita merasa malu terhadap nikmat yang telah diberikan, sementara kita pergunakan untuk berbuat buruk/maksiat kepada-Nya?

Dan pernahkan kita merenung apakah ibadah-ibadah yang kita lakukan hingga detik ini ialah benar-benar bukti ketulusan kita? Atau jangan-jangan kita hanya intim kepada-Nya hanya pada saat kita memiliki hajat?

Hari ini saya sangat bersyukur karena ustadz Sirojul Munir memberikan petuah yang sangat dalam maknanya sehingga saya perlu untuk me-redefinisi kembali arti dan spektrum syukur kepada Allah. Saya akan memulainya dengan petikan hikmah kehidupan rasululah. Sebagai manusia paripurna dan dijamin Rabb-nya masuk surga,  rasulullah dalam kehidupan "malamnya" dengan Allah tetap saja romantis dan melakukan persenyawaan melalui raga dan jiwanya  untuk senantiasa bermunajat syukur kepada Allah. Sampai-sampai Aisyah yang tak tahan melihat suaminya itu berjam-jam berqiyamul lail menegurnya kenapa suaminya itu sampai segitunya padahal Allah dan semesta telah mengampuni dosa-dosanya. Jawaban simpel yang bikin saya gedek-gedek:

 "Ya Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur". 

Saya coba berimajinasi, zaman itu sangat sulit, kondisi umat muslim masih terseok-seok, perjuangan sangat keras, kemenangan islam belum terlihat bahkan beliau dilempari  kotoran unta serta batu. Kalo nalar kesyukuran itu dimaknai oleh jumlah yang telah didapatkan (atas apa yang telah diterima) maka premis itu langsung terpatahkan. Rasul kala itu tak mendapatkan jabatan, harta, atau kekuasaan, bahkan ia malah menolaknya saat orang-orang quraisy berusaha untuk menawarkannya. Ia bahkan malah  bersyukur saat Allah memberikan pelbagai kesusahan yang tak terperikan itu, hingga akhirnya Islam bisa menyebar di seantero dunia. Tak terbayang jika kala itu rasulullah hanya berkeluh kesah dan tak mau bersyukur, mungkin jalan ceritanya akan berbeda. 

Jadi bagaimana spektrum syukur itu sesungguhnya? 

Saya coba menganalogikannya sebagai seseorang yang memutar film. Kenikmatan menonton film tidak akan dirasakan jika hanya menontonnya pada bagian akhir, tengah, atau awalnya. Menonton butuh keterpaduan yang akan bermuara pada kenikmatan. Jadi, di setiap plot cerita kita mesti menontonnya dengan saksama sehingga di akhir cerita kita  mampu untuk menyimpulkan apa sesungguhnya nilai yang ingin sutradara sampaikan. 

Cerita hidup juga agaknya sama. Kita barangkali tak tahu skenario hidup kita akan bermuara kemana. Namun satu keyakinan yang perlu diperbaharui terus menerus ialah Allah tak akan mungkin menjerumuskan hamba-Nya ke lembah kenistaan.

Dan akhirnya kita perlu untuk me-redefinisi arti dan spektrum syukur. Barangkali kita telah terbiasa untuk bersyukur atas nikmat yang baik-baik. Namun berapa banyak di antara kita yang mengutuk langit jika takdir buruk menimpa. Maka syukuri semua takdir allah yang baik dan buruk di setiap epoch hidup. Jangan sampai kita hanya bersyukur saat 
kita meraih kesuksesan. Nikmat kebaikan tentu ialah yang kita harapkan, tapi takdir buruk kadangkala perlu Allah sampaikan sebagai pengingat atau bahkan  penghapus akan dosa. Mungkin Allah ingin kita tegar sekuat batu karang, menjulang ke langit mengakar ke bumi, dan mendorong kita untuk bertasawwuf hingga Ia mau bertajalli dengan kita. Semoga!

Tabik.

Comments