Empat Minggu di Tujuh Tahun yang Lalu

Foto: Toko Buku loak di salah satu sudut Swanstone Street, Victoria, Aussie

"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, terngiang kembali kata-kata mei, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya" (Pram dalam Jejang Langkah)

Saya harus berterima kasih pada Pram. Tetralogi Pulau Buru telah sukses membuat empat minggu di tujuh tahun yang lalu menjadi hari dimana waktu bergerak cepat. Empat minggu yang membuat tugas-tugas di kampus hanya saya kerjakan sekenanya, rela menyisihkan waktu tidur hanya 3-4 jam semalam, dan sering mangkir dari kegiatan asrama, untuk merampungkan bacaan tentang embrio kebangsaan ini, walau akhirnya untuk poin yang terakhir itu saya jadi bulan-bulanan terus oleh sang asyatidz. Namun itulah awal kegemaran saya melintasi alam pikiran seseorang (baca: penulis) melalui tulisan. Mengapa? Karena saya merasa bebas, ruang dan waktu tak menjadi batasan, saya bisa benar-benar bebas menyelam, mendaki, berenang, bahkan terbang dengan mengarungi alam pikiran itu. Menyelami alam pikiran sesungguhnya berdialog, kita secara tidak langsung diajak berbicara dengan penulis tentang gagasan, narasi, ide, dan khayalannya yang ia angkat.

Buku telah membuat saya terus berpikir untuk mencapai satu simpulan tertentu. Saya sadar buku bisa menjelaskan masa lalu, masa kini, dan masa depan sehingga alur berpikir kita menjadi kontinyu dan bisa mempersepsikan akhir cerita sebagai awal perjalanan  atau awal suatu perjalanan sebagai akhir persiapan. Semua manusia berusaha untuk memahami kunci alur itu, namun hasilnya ada orang yang hanya mampu bertahan, ada yang ingin mendapatkan lebih, ada yang mati-matian untuk menaklukkan. Tapi ada pula yang hanya lalu lalang dicatat oleh sejarah. Semuanya tidak ada yang salah sehingga kita tak perlu men-judge usaha manusia untuk memilih perannya dalam setiap epoch umurnya. Walau buku elektronik telah tersebar dimana-mana tetapi buku kertas masih jadi primadona. Aroma dan sensasi membaca jadi terasa berbeda.